Jakarta – Di tengah keheningan pagi, deretan pesan WhatsApp menggema penuh haru: “Alhamdulillah kita menang kasasi. Ya Allah, mari sujud syukur.”
Itulah euforia spontan dari Ketua Umum PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., ketika Mahkamah Agung RI akhirnya menyatakan kemenangan atas sengketa kepemimpinan—sebuah keputusan yang bukan sekadar soal hukum, tapi soal menjaga kehormatan guru-guru Indonesia secara kolektif.
Seorang wakil tim hukum LBKH PGRI menyatakan bahwa perjuangan panjang ini bukan sekadar proses legal belaka, melainkan panggilan moral seluruh anggota yang mendambakan kejelasan organisasi. Mahkamah Agung telah menetapkan bahwa PGRI yang sah berada di bawah kepemimpinan Unifah Rosyidi, dan keputusan ini bersifat final.
Emosi haru turut terlihat dalam sorak-sorai pesan yang bersumber dari berbagai daerah:
“Selamat Bu Ketum... selamat untuk seluruh anggota PGRI yang sejati, yang setia dan patuh pada konstitusi AD ART PGRI,” kata seorang pengurus daerah dengan penuh haru Melintas+1.
Momen ini dirayakan bukan hanya sebagai kemenangan pemimpin organisasi, tetapi sebagai simbol bersama:
Kemenangan hukum
Kemenangan moral
Penguatan martabat guru Indonesia
Tangis haru dan doa penyemangat para anggota mempertegas bahwa PGRI bukan sekadar institusi, melainkan rumah bersama yang tengah disatukan kembali .
Prof. Unifah juga mengingatkan agar soliditas organisasi tidak dikotori berbagai narasi keliru:
“Berita yang begini harus tersampaikan ke pengurus sampai ke anggota PGRI, jangan berita abal-abal justru ‘secara tak sadar’ kita yang viralkan...” .
Dengan kemenangan hukum ini, PGRI diperkuat sebagai satu-satunya organisasi guru terbesar di Indonesia, tanpa dualisme dan di bawah kepemimpinan konstitusional yang sah .